Di sebuah kampung pada zaman dahulu, ada seorang pemuda keasyikan berburu rusa. Ia menerobos jauh hingga ke belantara rimba, tidak sadar telah tersesat sampai hari mulai gelap. Rusa buruannya menghilang, bekas tapak kuda tidak tampak tertutup kabut tebal dan pekat.
Bukan kabut polusi, revolusi industri masih beratus tahun kemudian, belum ada cerobong asap pembangkit listrik, pabrik dan kendaraan bermesin bakar. Asap dari tungku di rumah penduduk untuk memasak dan menghangatkan badan di musim dingin seperti saat ini, volumenya jauh dari mampu menurunkan kualitas udara dari sehat ke berbahaya. Pepohonan mengambil CO2 yang dibawa angin laut untuk bernapas, produksi karbon dari perkampungan manusia terlalu sedikit.
Dalam kepanikan karena hari mulai gelap dan kabut yang semakin tebal, ditambah lolongan serigala yang bersahut-sahutan, pemuda itu mulai ketakutan.
“Aku pasrah, sisa memilih akan mati dengan cara bagaimana, diterkam binatang buas, atau mati kelaparan dan kehausan.”
“Bodoh!” Ringkik kudanya.
“Baru kali ini aku mendengarmu bisa berbicara, dan kata pertamamu memaki bodoh?”
“Karena kebodohanmu dicengkeram pikiran ruwet dengan hal-hal yang belum terjadi, sampai aku terpaksa bicara.”
“Jadi apa saranmu kudaku yang pintar?”
“Kau masih ingat dari arah mana kita datang sebelum masuk ke tengah hutan ini?”
“Tepat di belakang kita, sekarang semuanya tertutup kabut! Pandanganmu dan pandanganku cuma selangkah ke depan, bagaimana bisa pulang ke perkampungan dengan itu?”
“Naiklah ke punggungku, kalau cuma tersedia satu langkah, itu yang kita ambil. Selangkah demi selangkah, selambat apa pun masih lebih baik ketimbang berdiam di sini dengan pikiranmu yang dicengkeram rasa takut yang hanya menawarkan kematian.”
Singkat cerita, akhirnya pemuda itu berhasil pulang ke perkampungan. Setiap satu langkah yang ia ambil bersama kudanya, membuka satu langkah baru berikutnya.
***
Kisah di atas pernah kami baca di sebuah buku yang lupa apa judulnya, dengan sedikit adaptasi dengan kondisi faktual di Jakarta. Penulis buku tersebut, yang maaf kami juga lupa, mencoba memberikan metafora untuk pembacanya yang ‘overthinking’ yang diperparah situasi mencekam dan tidak diharapkan, agar mengambil langkah pertama yang bisa dilakukan dan berada dalam jangkauan.
Metafora yang pas menggambarkan seorang yang terbiasa ‘overthinking’ sedang berada di kota Jakarta, ditambah penyakit asma atau penyakit pernapasan lainnya, sedang memandang video pantauan satelit di atas langit kota Jakarta dan sekitarnya. Juga pas dengan situasi-situasi tidak ideal kami sehari-hari untuk menulis dengan tenang, tetapi fokus kami menyelesaikan tulisan dan berbagi, distorsi tidak sepenting apa yang ingin kami sampaikan.
Melalui pantauan situs vestusky.com, lewat tengah malam, kadar PM 2,5 lebih pekat dalam udara di langit Jakarta. Polutan kategori PM 2,5 yang berukuran lebih kecil dari sel darah merah berasal dari cerobong industri atau pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, kayu dan BBM, dan gas buang kendaraan bermotor berbahan bakar minyak, termasuk kereta api dan kapal laut yang bermesin diesel.
Kami yang pernah merasakan lengangnya jalan tol dan non-tol di Jakarta di atas pukul 12 malam, sebelum PPKM Covid-19, berkesimpulan penyumbang polusi di malam hari, bukan kendaran bermotor. Sumbangan polusi dari kendaraan bermotor di jalan raya nanti pukul 5 subuh sampai tengah malam.
Situasi makin rumit, mengharap hujan datang meluruhkan debu polusi saat El Nino nyaris mustahil. ‘Hujan Bulan Juni’ yang sanggup membuat Sapardi melahirkan puisi ikonik telah berlalu. Modifikasi cuaca dengan bibit awan tipis, arah angin dan kelembaban yang tidak sesuai, membesarkan bibit awan hujan peluangnya menjadi sangat kecil.
Kalau merujuk metafora pemuda yang hilang di tengah hutan, bergerak satu langkah ke depan bukan solusi jangka pendek atau menengah, tetapi hasil ‘breakdown’ dari visi jauh ke depan, yaitu kembali pulang ke rumahnya.
Seperti sebelum ia menyadari jarak pandangnya hanya selangkah, pemuda tersebut lebih dahulu melakukan observasi, mengalihkan pikiran dan perasaannya dari kecemasan dan ketakutan pada hal-hal yang belum terjadi, ke upaya menemukan petunjuk ke arah solusi. Atau mengumpulkan data sebelum diolah menjadi informasi, kalau dalam bahasa konkrit.
Keputusan perlakukan work from home (WFH) untuk aparatur sipil negara di lingkup pemda DKI sudah pernah dilakukan saat PPKM Covid-19. Asumsi: ASN yang diwajibkan WFH 75% dari 52.100 orang (Data bkddki.jakarta.go.id) atau 39.075 orang semuanya naik kendaraan pribadi berbahan bakar minyak.
Data dari Kompas.com – 02/03/2022, turunnya jumlah kendaraan tidak memperbaiki (kadar) polusi PM2.5 di Jabodetabek,” ujar Data Scientist Nafas Indonesia, Prabu Setyaji dalam webinar NAFAS Air Quality Report 2021. Kemudian, didapatkan pula peningkatan polusi udara untuk PM2.5 di Jabodetabek menambah sebanyak 12 persen selama masa PPKM. Bahkan di beberapa wilayah kadar PM2.5 juga mengalami kenaikan, misalnya di Kelapa Gading naik 21 persen, Kuningan naik 17 persen, Bekasi Selatan naik 24 persen, dan Bogor bagian barat naik sekitar 33 persen.
Padahal, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021, emisi kendaraan bermotor berkontribusi sebesar 70 persen terhadap pencemaran nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2) dan partikulat (PM) di wilayah perkotaan. Namun kenyataannya, kata Prabu, PPKM di Jakarta dan sekitarnya tidak menurunkan kadar polusi PM2.5 secara signifikan. “Itu artinya mungkin ada sumber-sumber (polusi udara PM2.5) yang lain yang lebih besar dari 70 persen yang dikatakan berasal dari mobilitas kendaraan bermotor,” jelas Piotr.
Riset terbaru mengungkapkan, pengurangan mobilitas masyarakat, dengan rendahnya penggunaan kendaraan di jalan raya selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas udara, maupun kadar polusi udara di Jabodetabek. Hal itu disampaikan Chief of Growth Officer Nafas Indonesia, Piotr Jakubowski. Piotr berkata berdasarkan riset yang dilakukan bersama Katadata Insight Center (KIC), serta Komunitas Bicara Udara menunjukkan kualitas udara di wilayah tersebut pada saat PPKM relatif sama, terutama pada kadar polusi PM2.5.
Namun, sekecil apa pun pengaruh WFH yang mengurangi mobilitas kendaraan bermotor berbahan bakar minyak, sudah bisa dianggap satu langkah kecil pertama. Langkah berikutnya, tetap fokus pada visi akhir udara Jakarta layak hirup. Pengembangannya mungkin dengan menerapkan wajib bersepeda bagi ASN dan pekerja swasta yang tinggal di radius tertentu dari tempat kerjanya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat wilayah Ibu Kota 2011 dihuni oleh sekitar 9,6 juta jiwa pada malam hari. Jumlahnya membengkak menjadi 12 juta jiwa pada siang hari karena ada tambahan komuter. “Daya tampung penduduk Jakarta sudah overload,” kata Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Purba Hutapea saat dihubungi kemarin. Dengan pertumbuhan pertahun 1.45% (Data metro.tempo.co Sabtu, 10 September 2011)
Purba mengatakan Jakarta hanya sanggup menampung 12,5 juta jiwa sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2011-2030. “Itu kalkulasi sampai 2030. Bayangkan kalau sekarang saja sudah 12 juta jiwa,” ujarnya.
Purba mencatat angka urbanisasi masih cukup tinggi meski trennya terus turun. Pada 2010, sebanyak 59.215 pendatang baru menyesaki Jakarta pasca-Lebaran–turun dari tahun sebelumnya yang 69.554 jiwa. Pada 2008, jumlah pendatang baru tercatat mencapai 88.473 jiwa. Tahun ini diperkirakan jumlahnya sekitar 50 ribu jiwa.
Langkah kedua, populasi sebesar itu jika dipandang sebagai potensi solusi, bukan potensi masalah, banyak perubahan yang bisa dilakukan. Katakanlah populasi Jakarta di malam hari tahun 2023 tetap 9,6 juta jiwa, 20% atau 1.920.000 orang di antaranya mau menanam satu dari tiga jenis pohon penyerap karbon polusi terbesar, yaitu:
* Trembesi (Samanea saman) 28.488,39 kg karbon pertahun, jika 1.920.000 orang menanam masing-masing 1 pohon Trembesi, maka tahun depan panen karbon dari udara sebanyak 54.697.708.800 kilogram
* Cassia (Cassia sp) 5.295,47 kg karbon pertahun, jika 1.920.000 orang menanam masing-masing 1 pohon Cassia, maka tahun depan panen karbon dari udara sebanyak 10.167.302.400 kilogram
* Kenanga (Cananguim odoratum) 756,59 kg karbon pertahun, jika 1.920.000 orang menanam masing-masing 1 pohon Kenanga, maka tahun depan panen karbon dari udara sebanyak 1,452,652,800 kilogram
Kemudian, langkah ketiga menerapkan metode filtrasi pada asap-asap buangan industri dan pembangkit listrik. Contoh metodenya DIPO ISO-FILTER karya empat mahasiswa D3 Teknik Elektro Universitas Diponegoro tersebut merancang sebuah inovasi alat penyaring asap pabrik yang terdiri dari 5 tahap penyaringan meliputi filter udara, filter basah (wet filter), pengendap gravitasi, pengendap elektro statis, dan pengendap siklon. Mengurangi emisi gas buang pada pembakaran di pabrik dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan fungsi dari kelima tahap penyaringan sehingga memperoleh hasil yang signifikan dalam pengurangan polutan asap pabrik industri. Diperkirakan sekitar 60% pengurangan emisi gas buang akibat pembakaran di pabrik dapat tereduksi secara efisien.
Memaksa industri dan pembangkit agar memperbaiki standar pembuangan asapnya sesuai aturan tentu bukan perkara mudah. Hubungan antara pengusaha dan penguasa adalah hubungan simbiosis mutualisme yang (semoga) tidak mengorbankan kesehatan masyarakat banyak.
Kalaupun masyarakat banyak dianggap beban karena harus menambah investasi berupa filtrasi, jangan lupa, masyarakat yang menjadi korban itu juga pangsa pasar dari produk yang mereka produksi dengan menghasilkan polusi udara. Pilih pasar habis karena sakit atau menambah investasi? Lupakan subsidi untuk pengusaha, yang disubsidi itu asuhan atau masyarakat yang masih dan kian ringkih, bukan pengusaha yang kata dasarnya ‘usaha’.
Langkah keempat, baru terlihat setelah langkah 1, 2, dan 3 diambil.
http://dlvr.it/Stxtgb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar